BAB I
PENDAHULUAN
Dakwah adalah kegiatan yang bersifat menyeru, mengajak dan
memanggil orang untuk beriman dan taat kepada Allah Subhaanahu wa
ta'ala sesuai dengan garis aqidah, syari'at dan akhlak Islam. Kata dakwah
merupakan masdar (kata benda) dari kata kerja da'a yad'u yang
berarti panggilan, seruan atau ajakan.
Dalam dakwah terdapat 4 bentuk, yaitu Tabligh, Irsyad, Tabdir
dan Tatwir. Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam lebih dicondongkan dalam
bentuk Tabligh karena mengdifusikan ajaran islam kepada khalayak melalui 3
ranah, yaitu Khitobah, Kitabah dan I’lam.
Secara bahasa tasawuf diartikan sebagai Sufisme (bahasa arab:
تصوف ) adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana
cara menyucikan jiwa, menjernihan akhlaq, membangun dhahir dan batin, untuk
memporoleh kebahagian yang abadi. Tasawuf pada awalnya merupakan gerakan zuhud
(menjauhi hal duniawi) dalam Islam, dan dalam perkembangannya melahirkan
tradisi mistisme Islam. Tarekat (pelbagai aliran dalam Sufi) sering dihubungkan
dengan Syiah, Sunni, cabang Islam yang lain, atau kombinasi dari beberapa
tradisi[rujukan?]. Pemikiran Sufi muncul di Timur Tengah pada abad ke-8,
sekarang tradisi ini sudah tersebar ke seluruh belahan dunia
BAB II
PEMBAHASAN
Istilah
"tasawuf" (sufiisme), berasal dari tiga huruf Arab, sha, wau dan fa.
Banyak pendapat tentang alasan atas asalnya dari sha wa fa. Ada yang
berpendapat, kata itu berasal dari shafa yang berarti kesucian. Menurut
pendapat lain kata itu berasal dari kata kerja bahasa Arab safw yang berarti
orang-orang yang terpilih. Makna ini sering dikutip dalam literatur sufi.
Adapun pengertian tasawuf
secara termonologi sebagai berikut :
Imam Junaid dari Baghdad
(m.910) mendefinisikan tasawuf sebagai "mengambil setiap sifat mulia dan
meninggalkan setiap sifat rendah".
Syekh Abul Hasan asy-Syadzili
(m.1258), syekh sufi besar dari Arika Utara, mendefinisikan tasawuf sebagai
"praktik dan latihan diri melalui cinta yang dalam dan ibadah untuk
mengembalikan diri kepada jalan Tuhan".
Sedangkan “sufi” adalah
pelaku tasawuf itu sendiri. Kalau kita mengambil definisi tasawuf imam Junaid
“sufi” adalah orang yang mengambil setiap sifat mulia dan meninggalkan sifat
tercela. Tetapi kalau kita mengambil definisi tasawuf dari imam asy-syadzili
maka “sufi” adalah orang yang melakukan latihan tersebut atau bisa disebut
salik.”
Dari manapun definisi
yang kita ambil, istilah para sufi berarti orang-orang yang tertarik kepada
pengetahuan batin, orang-orang yang tertarik untuk menemukan suatu jalan atau
praktik ke arah kesadaran dan pencerahan batin.
Jadi yang dimaksud dengan
“ konsep dakwah sufi “ adalah rancangan atau ide mengajak manusia untuk
memahami dan mengamalkan ajaran islam sesuai dengan Al-Qur'an dan sunnah Nabi
Muhammad SAW yang dilakukan oleh salik.
Konsep dakwah sufi
Di sini kami ambil contoh
konsep yang ditawarkan tokoh sufi besar yang mana menjadi salah satu mazhab
tasawufnya NU yaitu Hujjatul Islam Imam Abu Hamid Al-Ghazali dalam kitab
monumentalnya Ihya’ Ulumuddin. Kami akan banyak mengambil konsep- konsep beliau
yang terekam pada bab Amar Ma’ruf Nahi Munkar, tetapi tidak menutup kemungkinan
penulis mengambil dari referensi lain, terutama pada poin-poin yang mana Imam
Al-Ghazali tidak menyinggung secara lengkap seperti yang akan pembaca dapatkan
pada poin media dakwah sufi.
Dalam konsep dakwahnya
Imam Al-Ghazali melibatkan beberapa unsur-unsur dakwah, meliputi : Da’i yaitu
muhtasib (Komunikator) sebagai penyampai pesan dakwah, materi dakwah sebagai
pesan dakwah yang disampaikan kepada mad’u yaitu muhtasab fih, mad’u (muhtasab
‘alaih) sebagai pendengar atau yang menerima pesan dakwah, dan nafsul-ihtisab
yaitu media dakwah, dan metode serta saluran dakwah yang digunakan Imam
Al-Ghazali dalam mencapai tujuan dakwah islamiyah. Berikut pemaparannya:
1. Da’i (Muhtasib)
Sesuai dengan namanya
tugas seorang da’i (muhtasib) adalah seorang komunikator sebagai penyampai
pesan dakwah (ajaran-ajaran Islam) yang disampaikan kepada mad’u (umat
manusia). Menurut Imam Al-Ghazali, memberi petunjuk kepada orang lain adalah
cabang dari memperoleh petunjuk dan demikian pula meluruskan orang lain adalah
cabang dari istiqamah.
Dari pernyataan Imam
Al-Ghazali diatas penulis menyimpulkan bahwa ukuran atau kadar baik tidaknya
seorang da’i dapat dilihat dari perannya dalam meningkatkan kepekaan
spiritualitas kemanusiaan atau sebaliknya. Apabila seorang da’i tersebut mampu
mengajak mad’unya menuju jalan kebaikan rahmatan lil ‘alamin dengan merasakan
keagungan sang khalik, lebih kreatif dalam menghadapi lingkungannya, lebih jauh
melihat masa depannya, maka da’i tersebut telah berhasil dalam mensyiarkan
dakwah islamiyah.
Namun sebaliknya apabila
da’i tersebut tidak mampu mengajak mad’unya menuju jalan kebaikan rahmatan lil
‘alamin tetapi berbalik arah menuju jalan keburukan maka da’i tersebut gagal
dalam mensyiarkan dakwah islamiyahnya.
Dalam kitab Ihya
ulumuddin, Imam Al-Ghazali mengemukakan seorang da’i (secara umum) dalam
melaksanakan tugasnya memiliki syarat-syarat sebagai berikut:
a. Orang mukallaf muslim
dan orang yang sanggup.
b. Islam, karena ia
membela Islam.
c. Adil, seorang da’i
harus bisa bersikap adil terutama dalam menyelesaikan suatu perselisihan.
d. Beriman, menurut Imam
Al-Ghazali seorang da’i yang tidak beriman bukan termasuk ahli agama karena ia
telah mengingkari pokok agama dan dengan keimananlah pertolongan bagi agama.
e. Shaleh.
f. Mengetahui
tempat-tempat dakwah, batas-batasnya, jalan-jalannya, dan
penghalang-penghalangnya agar ia dapat membatasi padanya, sesuai dengan batas
agama.
g. Menjauhi diri dari
dosa-dosa.
h. Memiliki budi pekerti,
lemah lembut dan kasih sayang serta sabar dalam menjalankan dakwahnya.
2. Materi dakwah
(Muhtasab fih)
Materi dakwah sebagai
pesan dakwah yang di sampaikan kepada obyek dakwah mencakup semua aspek dalam
agama islam ( islam, iman dan ihsan ). Para sufi tidak luput dari ketiganya
ini, bisa banyak kita jumpai kitab-kitab tasawuf yang mencakup ketiganya ini.
Sebagai contoh dalam bidang aqidah para sufi membahasnya dalam bab-bab pertama
kitab-kitab tasawuf mereka, contoh kitab Risalah Qusyairiyah karya tokoh sufi
agung Imam Al-Qusyairy dan kitab ihya’ ulumuddin karya Imam Al-Ghazali.
Keduanya membahas aqidah di bab-bab pertama sebagai indikasi pentingnya aqidah
dalam membentuk jati diri seseorang.
Ada materi dakwah yang
sangat penting dalam dunia sufi yaitu pembersihan jiwa karena tatkala jiwa
(hati) sudah bersih maka semua anggota badan akan bersih, juga sebagimana yang
termaktum dalam sebuah hadis yang sangat populer : “tatkala ia bagus maka
seluruh jasad akan menjadi bagus yaitu hati”.
Dalam rangkaian metode
pembersihan hati, para sufi menetapkan dengan tiga tahap : Takhalli, Tahalli,
dan Tajalli. Takhalli, sebagai tahap pertama dalam mengurus hati, adalah
membersihkan hati dari keterikatan pada dunia. Hati, sebagai langkah pertama, harus
dikosongkan. Ia disyaratkan terbebas dari kecintaan terhadap dunia, anak,
istri, harta dan segala keinginan duniawi.
Tahalli, sebagai tahap
kedua berikutnya, adalah upaya pengisian hati yang telah dikosongkan dengan isi
yang lain, yaitu Allah SWT. Pada tahap ini, hati harus selalu disibukkan dengan
dzikir dan mengingat Allah. Dengan mengingat Allah, melepas selain-Nya, akan
mendatangkan kedamaian. Tidak ada yang ditakutkan selain lepasnya Allah dari
dalam hatinya. Hilangnya dunia, bagi hati yang telah tahalli, tidak akan
mengecewakan. Waktunya sibuk hanya untuk Allah, bersenandung dalam dzikir. Pada
saat tahalli, lantaran kesibukan dengan mengingat dan berdzikir kepada Allah
dalam hatinya, anggota tubuh lainnya tergerak dengan sendirinya ikut bersenandung
dzikir. Lidahnya basah dengan lafadz kebesaran Allah yang tidak henti-hentinya
didengungkan setiap saat.
Setelah tahap
‘pengosongan’ dan ‘pengisian’, sebagai tahap ketiga adalah Tajalli. Yaitu,
tahapan dimana kebahagian sejati telah datang. Ia lenyap dalam wilayah Jalla
Jalaluh, Allah Subhanahu Wata’ala. Ia lebur bersama Allah dalam kenikmatan yang
tidak bisa dilukiskan. Ia bahagia dalam keridho’an-Nya. Pada tahap ini, para
sufi menyebutnya sebagai ma’rifah, orang yang sempurna sebagai manusia luhur.
3. Mad’u (muhtasab
‘alaih)
Mad’u merupakan objek
dakwah, yang bertindak sebagai pendengar atau yang menerima pesan dakwah yang
disampaikan seorang da’i. Syaratnya adalah bahwa Muhtasab ‘Alaih dengan sifat
yang menjadikan perbuatan yang dilarang daripadanya baginya itu munkar dan
sedikit-dikitnya apa yang mencukupi dalam hal itu adalah bahwa ia adalah
manusia dan tidak disyaratkan bahwa ia seorang mukallaf. Dan tidak disyaratkan
bahwa ia adalah mumayyiz (yang dapat membedakan antara yang bermanfaat dan tidak
manfaat).
4. Media dakwah
(nafsul-ihtisab)
Para sufi terkenal sangat
kreatif dalam menggunakan media dakwah karena kebanyakan para sufi berpahaman
bahwasanya tidak semua yang baru itu merupakan bid’ah atau hal yang dilarang
oleh agama, tetapi mereka lebih membagi bid’ah menjadi dua : bid’ah hasanah
atau lebih layak dikatakan sunah hasah dan bid’ah dhalalah.
Ada beberapa media atau
sarana yang digunakan para sufi dalam berdakwah diantaranya adalah :
a. Halaqatul zikir (
majlis zikir )
Sarana ini adalah sarana
terpenting dari kebanyakan tarekat- tarekat sufi, kebanyakan tarekat sufi
sangat menganjurkan para pengikutnya untuk sering zikir bersama karena dengan
zikir bersama akan lebih membawa dampak yang positih terhadap jiwa para jamaah
tarekat tersebut disamping banyak landasan-landasan dalil dari Al-quran dan
sunnah yang menganjurkan zikir berjamaah.
b. Khalwah- khalwah
Al-qur’an
Media ini sangat banyak
kita temukan di Sudan, bisa dikatakan 80% dari tokoh- tokoh sufi (mursyid)
memiliki khalwah Al-quran yaitu semacam pesantren yang khusus untuk
menghafalkan Al-qur’an tanpa pungutan biaya sedikitpun. Semua kebutuhan
ditanggung pemilik khalwah yang biasanya sering dapat sumbangan dari
orang-orang dermawan untuk konsumsi para santri khalwah. Di khalwah itulah para
santri digembleng dengan menghafal Al-quran sebagai pondasi awal memahami agama
islam. Di Sudan santri-santri khalwah terdiri dari banyak usia dan yang paling
banyak masih usia relatif muda kurang dari 10 tahun.
c. Masjid
Masjid merupakan media
dakwah yang dijadikan Rasulullah SAW sebagai sarana dan tempat penggemblengan
para sahabat RA dan dari masjid muncullah tokoh- tokoh yang banyak kita jadikan
contoh. Karena itulah para sufi tidak lalai dalam memanfaatkan sarana ini
sebagai media dakwah, di negara- negara muslim banyak kita temukan masjid-
masjid tua yang didirikan para tokoh- tokoh sufi seperti banyak kita temukan
juga di indonesia. Ambil contoh Masjid Agung Demak yang merupakan pusat
perkumpulan Wali Songo, masjid agung menara kudus yang mempunyai ciri khas
tertentu dengan adanya menara mirip dengan tempat ibadah orang hindu dan budha.
d. Zawiyah sufiah
Yaitu semacam tempat
pertapaan (‘uzlah) para sufi yang jauh dari keramaian kota dan biasanya banyak
ditemukan di gurun- gurun negara timur tengah. Sarana ini mereka gunakan untuk
mendidik nafsu dan hati dari segala penyakitnya serta sarana untuk menggembleng
para santri dalam menekuni dunia kesufian. Sarana ini banyak kita temukan di
Libia, Maroko dan negara- negara lain di zaman penjajahan yang diantara tarekat
yang banyak menggunakan media ini adalah Tarekah Sanusiyah yang terpusat di
Libya.
e. Media tulis
Media ini merupaka media
terpenting dalam setiap gerakan dakwah. Karena itulah para sufi tak luput
memanfaatkan media ini sebagai sarana dakwah. Kalau kita mau masuk perpustakaan
islam maka banyak sekali kita temukan kitab- kitab karya para tokoh-tokoh sufi.
Ambil contoh kitab karya Imam Al-Ghazali bisa kita temukan begitu banyak, kitab
karya Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani dan karya tokoh-tokoh yang lain.
f. Media internet
Media yang satu ini tidak
dapat ditemukan di era- era dulu, tetapi pada era sekarang media ini sangat
dilirik oleh semua kalangan karena jangkauannya yang luas tanpa batas ruang dan
waktu. Begitu juga para sufi tidak mau ketinggalan dengan pemanfaatan media
ini, sekarang banyak kita temukan situs-situs sufi dari berbagai Negara, contoh
kecil di Indonesia ada situs www.sufinews.com.
5. Metode dakwah
Imam Al-Ghazali
menerangkan metodologi dakwah yang digunakan dalam menyiarkan dakwah Islam.
Terdapat beberapa tingkatan diantaranya adalah ta’aruf , melarang dengan
pengajaran dan cara yang halus dan janganlah bersikap keras supaya tidak
melampaui batas syara’ sehingga lebih banyak merusak daripada memperbaiki
sehingga dalam tegurannya terdapat semacam pelanggaran. Bahkan, seandainya ada
seseorang menolak atau menghadapinya dengan sikap yang tidak disukainya, maka
janganlah ia melampaui batas syara’ dan melupakan teguran serta melakukan
kemungkaran dalam teguran itu sendiri. Menurut Imam Al-Ghazali dalam teguran
itu ada empat tingkatan yaitu memberitahu, menasehati, bersikap keras dalam
perkataan, kemudian mencegah dengan paksaan. Tidaklah boleh terhadap raja dan
penguasa, kecuali memberitahu dan menasehati. Adapun bersikap keras dan
mencegah dengan paksa, maka sikap itu menggerakkan fitnah dan menimbulkan
hal-hal yang lebih keji daripada yang mereka alami. Jika sikap keras itu
berfaedah dan tidak menimbulkan perkara yang berbahaya, maka tidaklah mengapa.
Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda:
Artinya:” Barangsiapa
dari kamu melihat perbuatan munkar, maka hendaklah ia ingkar dengan tangannya,
kalau tidak mampu, maka dengan lisannya lalu kalau tidak mampu, maka dengan
hatinya dan demikian itu adalah selemah-lemahnya iman.” (H.R. Bukhari dan
Muslim)
Jadi, menurut Imam
Al-Ghazali dakwah Islamiyah itu tidak secara otomatis harus dikerjakan begitu
saja, tetapi harus dilihat kepentingannya, adakah kemungkaran itu terjadi
ditengah masyarakat? Sejauh mana kemungkaran itu dilakukan orang?
Setelah diketahui
kemungkaran itu memang terjadi, barulah dipersiapkan konsep penanggulangannya
untuk selanjutnya ditangani dengan memperhatikan tiga alternatif tadi yaitu
melalui :
a. Kekuasaan atau
wewenang yang ada pada dirinya, atau dilaporkan kepada pihak yang berwenang
untuk ditangani
b. Peringatan atau
nasihat yang baik dalam Al-quran disebut mau’idhoh hasanah
c. Ingkar dalam hati,
artinya hati kita menolak tidak setuju
d. Pengajaran dan nasihat
dengan perkataan yang baik dengan cara tutur kata yang lemah lembut sehingga
akan terkesan di hati, menghindari sikap sinis dan kasar, serta tidak
menyebut-nyebut kesalahan atau bersikap menghakimi orang yang diajak bicara.
Secara umum,
karakteristik dakwah Islam harus mengacu pada pesan moral universal ajaran
Islam yang mendasar dan mencerminkan nilai-nilai rahmatan li al-alamin sebagai
manifestasi dari rasa kasih sayang, keikhlasan dan tanggung jawab yang
merefleksikan kemaslahatan, kemanfaatan, kesejahteraan, dan bernilai guna bagi
semua pihak seluruh makhluk. Baik untuk sesama muslim (ukhwah islamiyah),
sesama manusia (ukhwah basyariyah), sesama makhluk, dan bahkan alam sekitar dan
ekologinya. Hal ini sebagaimana diisyaratkan dalam Al-quran surat Al-Anbiya
ayat 107:
Artinya. “Dan tiadalah
kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Q.S.
Al-Anbiya ayat 107)
Relevansi konsep dakwah
sufi di era modern
Banyak orang yang
meragukan relevensi konsep dakwah sufi di era modern ini. Mereka menganggap
bahwasanya konsep dakwah sufi adalah konsep yang sudah usang dan tidak layak
pakai lagi di era modernisasi dan globalisasi sekarang ini. Bahkan ada yang
beranggapan bahwa konsep dakwah sufi hanya cocok di era yang sudah lampau dan
tidak akan pernah kembali lagi. Tapi kiranya orang yang meragukan hal tersebut
menelaah kembali dan menguji konsep dakwah sufi tersebut maka dia akan tahu
sampai seberapa relevansi konsep dakwah sufi di era sekarang. Pada sub ini kami
merasa perlu mengutip banyak sebuah makalah yang ditulis oleh Aprilina hartanti
dalam sebuah blogger kumpulan makalah psikologi.
Banyak cara yang diajukan
para ahli untuk mengatasi masalah yang muncul akibat modernisasi dan
globalisasi dan salah satu cara yang hampir disepakati para ahli adalah dengan
cara mengembangkan kehidupan yang berakhlak dan bertasawuf. Salah satu tokoh
yang begitu sungguh-sungguh memperjuangkan akhlak tasawuf bagi mengatasi
masalah tersebut adalah Husein Nashr. Menurutnya, faham sufisme ini mulai
mendapat tempat di kalangan masyarakat (termasuk masyarakat barat) karena
mereka mulai mencari-cari dimana sufisme yang dapat menjawab sejumlah masalah
tersebut.
Sufisme perlu
dimasyarakatkan pada kehidupan modern karena terdapat 3 tujuan yang penting
yaitu :
a. Turut serta terlibat
dalam berbagai peran dalam menyelamatkan kemanusiaan dari kondisi kebingungan
akibat hilangnya nilai-nilai spiritual.
b. Memperkenalkan
literatur atau pemahaman tentang aspek esoterik (kebatinan) Islam, baik
terhadap masyarakat islam yang mulai melupakannya maupun non islam, khususnya
terhadap masyarakat barat. Untuk memberikan penegasan kembali bahwa
sesungguhnya aspek esoterik Islam, yakni sufisme, yaitu jantung dari ajaran
islam sehingga bila wilayah ini kering dan tidak berdenyut , maka keringlah
aspek-aspek lain ajaran islam
Relevansi tasawuf dengan
problem manusia modern adalah karena tasawuf secara seimbang memberikan
kesejukan batin dan disiplin syari’ah sekaligus. Ia bisa difahami sebagai
pembentuk tingkah laku melalui pendekatan Tasawuf suluky, dan bisa memuaskan
dahaga intelektual melalui pendekatan Tasawuf falsafy. Ia bisa diamalkan oleh
setiap muslim, dari lapisan sosial manapun dan di tempat manapun. Secara fisik
mereka menghadap satu arah, yatiu Ka’bah, dan secara rohaniah mereka berlomba
lomba menempuh jalan (tarekat) melewati ahwal dan maqam menuju kepada Tuhan
yang Satu, Allah SWT. Tasawuf adalah kebudayaan Islam, oleh karena itu budaya
setempat juga mewarnai corak Tasawuf sehingga dikenal banyak aliran dan
tarekat.Telah disebut di muka bahwa ber-tasawuf artinya mematikan nafsu dirinya
untuk menjadi Diri yang sebenarnya. Jadi dalam kajian Tasawuf, nafs difahami
sebagai nafsu, yakni tempat pada diri seseorang dimana sifat-sifat tercela
berkumpul, Al Ashlu Al Jami` Li As Sifat Al Mazmumah Min Al Insan. Nafs juga
dibahas dalam kajian Psikologi dan juga filsafat. Dalam upaya memelihara agar
tidak keluar dari koridor Al-Qur’an maka baik Tasawuf maupun Psikologi (Islam)
perlu selalu menggali konsep nafs (dan manusia) menurut Al-Qur’an dan hadis.
Tasawuf dan modernitas
pada dasarnya sejak awal perkembangan islam gerakan tasawuf mendapat sambutan
luas di kalangan umat islam. Bahkan penyebaran islam di Indonesia lebih mudah
berkat dakwah menggunakan pendekaatan tasawuf. Penekanan pada sisi esoteric
agama (hal-hal yang bersifat batiniah dari agama) lebih mengundang daya tarik
ketimbang eksoteriknya (Formalitas ritual agama) Salah satunya disebabkan oleh
adanya persinggungan antara sisi esoteric dengan pergulatan eksistensi manusia.
Kecenderungan animisme dan dinamisme (kepercayaan terhadap benda-benda yang
mengandung keramat dan ruh-ruh leluhur yang bisa menjadi perantara kepada Tuhan)
misalnya menyiratkan ketertarikan yang besar terhadap sisi esoteric itu. Faktor
seperti inilah yang mendorong Hamka meneliti Tasawuf sebagaimana ia jelaskan
dalam bukunya :“Tidaklah dapat diragukan lagi bahwasanya tasawuf adalah salah
satu pusaka keagamaan terpenting yang mempengaruhi perasaan dan pikiran kaum
muslimin (1981;20)
Luasnya pengaruh tasawuf
dalam hampir seluruh episode peradaban islam menandakan tasawuf relevan dengan
kebutuhan umat islam. Menurut Hamka tasawuf ibarat jiwa yang menghidupkan tubuh
dan merasakan jantung dari keislaman.
Dalam masyarakat modern
fenomena ketertarikan terhadap pengajian bernuansa tasawuf mencerminkan adanya
kebutuhan untuk mengatasi problem alenasi yang diakibatkan modernitas.
Modernitas memberikan kemudahan mhidup tetapi tidak selalu memberikan
kebahagiaan Intisari ajaran tasawuf sebagaimana paham mistisme dalam
agama-agama lain adalah bertujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari
dengan Tuhan, sehingga seseorang merasa dengan kesadaranya itu berada di kehadirat-Nya.
Upaya ini antara lain dilakukan secara kontemplasi, melepaskan diri dari
jeratan dunia yang senantiasa berubah dan bersifat sementara. Sikap dan
pandangan sufistik ini sangat diperlukan oleh masyarakat modern yang mengalami
jiwa yang terpecah sebagaimana disebutkan, asalkan pandangan terhadap tujuan
tasawuf tidak dilakukan secara ekslusif dan individual, melainkan berdaya
aplikatif dalam meresponi berbagai masalah yang dihadapi.
Kemampuan berhubungan
dengan Tuhan ini dapat mengintegrasikan seluruh ilmu pengetahuan yang tampak
berserakan karena melalui tasawuf ini seseorang disadarkan bahwa sumber segala
yang ada ini berasal dari Tuhan. Dengan adanya bantuan tasawuf ini, maka ilmu
pengetahuan satu dan lainya tidak akan bertabrakan karena ia berada dalam satu
jalan dan satu tujuan. Selanjutnya tasawuf melatih manusia agar memiliki
ketajaman batin dan kehalusan budi pekerti. Sikap batin dan kehalusan budi yang
tajam ini menyebabkan ia akan selalu mengutamakan pertimbangan kemanusiaan pada
setiap masalah yang dihadapi dengan demikian ia akan terhindar dari melakukan
perbuatan perbuatan yang tercela menurut agama selanjutnya ajaran tawakkal pada
Tuhan menyebabkan ia memiliki pegangan yang kokoh, karena ia telah mewakilkan
atau menggadaikan dirinya sepenuhnya pada Tuhan, sikap tawakkal ini akan
mengatasi sikap stress yang dialami oleh manusia. Sikap materialistic dan
hedonistic yang merajalela dalam kehidupan modern ini dapat diatasi dengan
menerapkan konsep zuhud, yang pada intinya sikap yang tidak mau diperbudak atau
terperangkap oleh pengaruh duniawi yang sementara itu. Jika sikap ini tidak
mantap, maka ia tidak akan berani menggunakan segala cara untuk mencapai tujuan
, sebab tujuan yang ingin dicapai dalam tasawuf adalah menuju Tuhan, maka
caranya pun harus ditempuh dengan cara yang disukai Tuhan.
Demikian pula ajaran
uzlah yang terdapat dalam tasawuf yaitu usaha mengasingkan diri dari
terperangkat oleh tipu daya keduniaan, dapat pula digunakan untuk membekali
masyarakat modern agar tidak menjadi sekruft dari mesin kehidupan. Yang tidak
tahu lagi arahnya mau dibawa kemana. Tasawuf dengan konsep uzlahnya itu
berusaha membebaskan manusia dari perangkap-perangkap kehidupan tapi ia tetap
mengendalikan aktivitasnya sesuai dengan nilai-nilai ketuhanan, dan bukan
sebaliknya larut dalam pengaruh keduniaan. Terakhir problematika masyarakat
modern diatas adalah sejumlah manusia yang kehilangan masa depanya, merasa
kesunyian dan kehampaan jiwa di tengah-tengah derunya laju kehidupan.
Modernisme merupakan
tanda kemajuan dan moderniame juga merupakan tanda kemunduran suatu bangsa.
Perkembangan dalam berbagai bidang, dari bidang ekonomi sampai bidang
teknologi. Hal telah banyak membuat kita lupa akan daratan kita –tujuan awal–
yang sejak awal kita bangun. Kenyataannya, modernisme makin hari membawa diri
kita terselubungi dengan perkembangan teknologi.
Efeknya, penghayatan
terhadap Islam mulai digantikan dengan penghayatan duniawi yang serba ingin
modern. Prinsip materiaistik memenuhi otak pikiran, yang melepaskan kontrol
agama dan kebebasan bertindak demi memenuhi modernisme telah berkuasa untuk
mengalahkan terapi sufisme atau tasawuf. Masyarakat modern semakin mendewakan
keberadaan ilmu pengetahuan, maka seakan-akan kita berada pada wilayah
pinggiran yang bermadzab ke-barat-an dan bahkan kita hampir-hampir kehilangan
visi kailahian. Hal inilah yang membuat kita makin stress dan gersang hati kita
dengan dunia, akibat tidak mempunyai pegangan hidup. Dalam teori kesuksesan
yang diterapkan oleh Ary Gynanjar yang mengilustrasikan keberadaan diri kita
sudah dan telah memiliki kekuatan atau kemampuan yang berupa IQ, EQ dan SQ.
Yang mana, ketika kemampuan itu membentengi manusia dalam hariannya untuk
menjadi manusia yang sukses atau manusia yang kamil. Untuk itulah, teori yang
diterapkan oleh Ary Gynanjar harus diseimbangkan dalam diri personal. Sebab,
akibat yang ditimbulkan dari ketidakseimbangan tersebut akan merubah diri
seorang hidup tanpa peganggan yang lari sana dan lari sini, ikut sana dan ikut,
tidak punya prinsip yang diandalkan. Wujud dari kemampuan manusia, umunnya
berupa kekuatan ekonomi, teknologi, dan kekuatan ibadiyah. Wajar sekali,
kekuatan ekonomi dan teknologi saat ini sangat diperlukan bagi penunjang
keberhasilan umat Islam demi menjaga dan mengangkat harkat dan martabat umat
itu sendiri. Hal ini disebabkan maraknya perkembangan dan kebutuhan duniawi
yang marak juga. Maka dari itu, keselamatan seseorang ditentukan oleh pribadi
masing-masing, di mana ia semakin menjaga martabat Islam, semakin pula dirinya
terjaga dari arus besarnya kemodernismean. Keseimbangan memang dibutuhkan, tapi
realita yang terjadi ketika insan bertaqorub ilahirobbi yang mana mereka
menjalani hidup penuh dengan nuasa tasawuf tidak disertai yang namanya EQ. Sehinga
yang terjadi, mereka hanya bisa dekat dengan Tuhannya tapi tidak dekat dengan
lingkungannya yakni masyarakat sekitarnya.
BAB III
KESIMPULAN
Dengan demikian konsep dakwah sufi, bukan
hanya sebatas menyeru manusia kepada Allah SWT, banyak hal yang tercangkup di
dalamnya, termasuk bagaimana cara menerapkan Islam dalam tatanan kehidupan,
menghadapi tantangannya dan mengetahui konspirasi para musuh Islam. Hubungan
dakwah, amar ma’ruf nahi munkar tidak bisa dipisahkan. Di sini dapat kita
lihat, bahwa pada kenyataannya dakwah ilallallah selalu ditekankan pada
terwujudnya al-ma’ruf atau al-khair, dan menjadi tugas pokok seorang muslim.
Dakwah yang berisikan amar ma’ruf nahi munkar yang digerakkan orang-orang
muslim, pada praktiknya memang berhadapan dengan dakwah amar munkar nahi ma’ruf
yang dilakukan oleh orang-orang munafik.
Secara sosiologis, al-ma’ruf dan al-munkar
menunjuk pada kenyataan bahwa kebaikan dan keburukan itu terdapat dalam
masyarakat. Umat Islam dituntut untuk mengenali kebaikan dan keburukan yang ada
dalam masyarakat, kemudian mendorong, memupuk, dan memberanikan diri kepada
tindakan-tindakan kebaikan, dan pada waktu yang sama ia mampu mencegah,
menghalangi, dan menghambat tindakan-tindakan keburukan.