BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Al-Quran adalah wahyu yang
diturunkan dari langit oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat
Jibril a’s. Sejarah penurunannya selama 23 tahun secara berangsur-angsur telah
memberi kesan yang sangat besar dalam kehidupan seluruh manusia. Di dalamnya
terkandung berbagai ilmu, hikmah dan pengajaran yang tersurat maupun tersirat.
Sebagai umat Islam, kita haruslah
berpegang kepada Al-Quran dengan membaca, memahami dan mengamalkan serta
menyebarluas ajarannya. Bagi mereka yang mencintai dan mendalaminya akan
mengambil iktibar serta pengajaran, lalu menjadikannya sebagai panduan dalam
meniti kehidupan dunia menuju akhirat yang kekal abadi.
Mushaf Al-Qur’an yang ada di tangan
kita sekarang ternyata telah melalui perjalanan panjang yang berliku-liku
selama kurun waktu lebih dari 1400 tahun yang silam dan mempunyai latar
belakang sejarah yang menarik untuk diketahui.baik itu dari pengumpulan
manuskrip sampai pencetakan Al_qura’n tersebut. Selain itu jaminan atas
keotentikan Al-Qur’an langsung diberikan oleh Allah SWT yang termaktub dalam
firman-Nya QS.AL Hijr -(15):9: “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan adz-Dzikr
(Al-Qur’an), dan kamilah yang akan menjaganya”.
1.2
Rumusan Masalah
Dalam penyusunan makalah ini kami
mencoba merumuskan beberapa pertanyaan yang akan dijadikan
sebagai bahan dalam penyusunan dan penyelesaian makalah. Diantaranya yaitu :
1. Bagaimana sejarah manuskrip Al-Qur'an?
2. Bagaimana sejarah pencetakan Al-Qur'an?
1.3
Maksud dan Tujuan
Adapun maksud dan tujuan dari penyusunan makalah ini selain untuk
memenuhi salah satu tugas dari mata kuliah Ulumul Qur’an, tapi juga bertujuan
diantaranya untuk :
1. Untuk mengetahui sejarah manuskrip Al-Qur'an
2. Untuk mengetahui sejarah pencetakan Al-Qur'an
BAB II
PEMBAHASANAN
2.1 Sejarah
Manuskrip Al-Quran
A. Al-Qura’n pada zaman
Rasulullah SAW.
Pengumpulan Al-Qur’an pada zaman Rasulullah
SAW ditempuh dengan dua cara:
Pertama : al
Jam’u fis Sudur
Para sahabat
langsung menghafalnya diluar kepala setiap kali Rasulullah SAW menerima wahyu.
Hal ini bisa dilakukan oleh mereka dengan mudah terkait dengan kultur (budaya)
orang arab yang menjaga Turast (peninggalan nenek moyang mereka diantaranya
berupa syair atau cerita) dengan media hafalan dan mereka sangat masyhur dengan
kekuatan daya hafalannya.
Kedua : al
Jam’u fis Suthur
Yaitu wahyu
turun kepada Rasulullah SAW ketika beliau berumur 40 tahun yaitu 12 tahun
sebelum hijrah ke madinah. Kemudian wahyu terus menerus turun selama kurun
waktu 23 tahun berikutnya dimana Rasulullah. SAW setiap kali turun wahyu
kepadanya selalu membacakannya kepada para sahabat secara langsung dan menyuruh
mereka untuk menuliskannya sembari melarang para sahabat untuk menulis hadis-hadis
beliau karena khawatir akan bercampur dengan Al-Qur’an. Rasul SAW bersabda
“Janganlah kalian menulis sesuatu dariku kecuali Al-Qur’an, barangsiapa yang
menulis sesuatu dariku selain Al-Qur’an maka hendaklah ia menghapusnya ” (Hadis
dikeluarkan oleh Muslim (pada Bab Zuhud hal
dan Ahmad (hal 1).
Biasanya
sahabat menuliskan Al-Qur’an pada media yang terdapat pada waktu itu berupa
ar-Riqa’ (kulit binatang), al-Likhaf (lempengan batu), al-Aktaf (tulang
binatang), al-`Usbu ( pelepah kurma). Sedangkan jumlah sahabat yang menulis
Al-Qur’an waktu itu mencapai 40 orang. Adapun hadis yang menguatkan bahwa
penulisan Al-Qur’an telah terjadi pada masa Rasulullah s.a.w. adalah hadis yang
di Takhrij (dikeluarkan) oleh al-Hakim dengan sanadnya yang bersambung pada
Anas r.a., ia berkata: “Suatu saat kita bersama Rasulullah s.a.w. dan kita
menulis Al-Qur’an (mengumpulkan) pada kulit binatang ”.
Dari kebiasaan
menulis Al-Qur’an ini menyebabkan banyaknya naskah-naskah (manuskrip) yang
dimiliki oleh masing-masing penulis wahyu, diantaranya yang terkenal adalah:
Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Mas’ud, Mu’adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit dan
Salim bin Ma’qal.
Adapun hal-hal
yang lain yang bisa menguatkan bahwa telah terjadi penulisan Al-Qur’an pada
waktu itu adalah Rasulullah SAW melarang membawa tulisan Al-Qur’an ke wilayah
musuh. Rasulullah s.a.w. bersabda: “Janganlah kalian membawa catatan Al-Qur’an
kewilayah musuh, karena aku merasa tidak aman (khawatir) apabila catatan
Al-Qur’an tersebut jatuh ke tangan mereka”.
Kisah masuk
islamnya sahabat `Umar bin Khattab r.a. yang disebutkan dalam buku-bukus
sejarah bahwa waktu itu `Umar mendengar saudara perempuannya yang bernama
Fatimah sedang membaca awal surah Thaha dari sebuah catatan (manuskrip)
Al-Qur’an kemudian `Umar mendengar, meraihnya kemudian memba-canya, inilah yang
menjadi sebab ia mendapat hidayah dari Allah sehingga ia masuk islam.
Sepanjang
hidup Rasulullah s.a.w Al-Qur’an selalu ditulis bilamana beliau mendapat wahyu
karena Al-Qur’an diturunkan tidak secara sekaligus tetapi secara bertahap.
B. Al-Quran pada
zaman Khalifah Abu Bakar as Sidq
Sepeninggal Rasulullah SAW, istrinya `Aisyah menyimpan beberapa naskah
catatan (manuskrip) Al-Qur’an, dan pada masa pemerintahan Abu Bakar r.a
terjadilah Jam'ul Quran yaitu pengumpulan naskahnaskah atau manuskrip Al-Qur’an
yang susunan surah-surahnya menurut riwayat masih berdasarkan pada turunnya
wahyu (hasbi tartibin nuzul).
Imam Bukhari meriwayatkan
dalam shahihnya sebab-sebab yang melatarbelakangi pengumpulan naskah-naskah
Al-Qur’an yang terjadi pada masa Abu Bakar yaitu Atsar yang diriwatkan dari
Zaid bin Tsabit r.a. yang berbunyi:
"Suatu ketika Abu
bakar menemuiku untuk menceritakan perihal korban pada perang Yamamah ,
ternyata Umar juga bersamanya. Abu Bakar berkata :" Umar menghadap
kapadaku dan mengatakan bahwa korban yang gugur pada perang Yamamah sangat
banyak khususnya dari kalangan para penghafal Al-Qur’an, aku khawatir kejadian
serupa akan menimpa para penghafal Al-Qur’an di beberapa tempat sehingga suatu
saat tidak akan ada lagi sahabat yang hafal Al-Qur’an, menurutku sudah saatnya
engkau wahai khalifah memerintahkan untuk mengumpul-kan Al-Qur’an, lalu aku
berkata kepada Umar : " bagaimana mungkin kita melakukan sesuatu yang
tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah s. a. w. ?" Umar menjawab:
"Demi Allah, ini adalah sebuah kebaikan".
Selanjutnya Umar selalu
saja mendesakku untuk melakukannya sehingga Allah melapangkan hatiku, maka aku
setuju dengan usul umar untuk mengumpulkan Al-Qur’an.
Zaid
berkata: Abu bakar berkata kepadaku : "engkau adalah seorang pemuda yang
cerdas dan pintar, kami tidak meragukan hal itu, dulu engkau menulis wahyu
(Al-Qur’an) untuk Rasulullah s. a. w., maka sekarang periksa dan telitilah
Al-Qur’an lalu kumpulkanlah menjadi sebuah mushaf".
Zaid berkata
: "Demi Allah, andaikata mereka memerintahkan aku untuk memindah salah
satu gunung tidak akan lebih berat dariku dan pada memerintahkan aku untuk
mengumpulkan Al-Qur’an. Kemudian aku teliti Al-Qur’an dan mengumpulkannya dari
pelepah kurma, lempengan batu, dan hafalan para sahabat yang lain).
Kemudian Mushaf hasil
pengumpulan Zaid tersebut disimpan oleh Abu Bakar, peristiwa tersebut terjadi
pada tahun 12 H. Setelah ia wafat disimpan oleh khalifah sesudahnya yaitu Umar,
setelah ia pun wafat mushaf tersebut disimpan oleh putrinya dan sekaligus istri
Rasulullah s.a.w. yang bernama Hafsah binti Umar r.a.
Semua sahabat sepakat untuk
memberikan dukungan mereka secara penuh terhadap apa yang telah dilakukan oleh
Abu bakar berupa mengumpulkan Al-Qur’an menjadi sebuah Mushaf. Kemudian para
sahabat membantu meneliti naskah-naskah Al-Qur’an dan menulisnya kembali.
Sahabat Ali bin Abi thalib berkomentar atas peristiwa yang bersejarah ini
dengan mengatakan : " Orang yang paling berjasa terhadap Mushaf adalah Abu
bakar, semoga ia mendapat rahmat Allah karena ialah yang pertama kali
mengumpulkan Al-Qur’an, selain itu juga Abu bakarlah yang pertama kali menyebut
Al-Qur’an sebagai Mushaf).
Menurut riwayat yang lain
orang yang pertama kali menyebut Al-Qur’an sebagai Mushaf adalah sahabat Salim
bin Ma'qil pada tahun 12 H lewat perkataannya yaitu : "Kami menyebut di
negara kami untuk naskah-naskah atau manuskrip Al-Qur’an yang dikumpulkan dan
di bundel sebagai MUSHAF" dari perkataan salim inilah Abu bakar mendapat
inspirasi untuk menamakan naskah-naskah Al-Qur’an yang telah dikumpulkannya
sebagai al-Mushaf as Syarif (kumpulan naskah yang mulya). Dalam Al-Qur’an
sendiri kata Suhuf (naskah ; jama'nya Sahaif) tersebut 8 kali, salah satunya
adalah firman Allah QS. Al Bayyinah (98):2 " Yaitu seorang Rasul utusan
Allah yang membacakan beberapa lembaran suci. (Al-Qur’an)"
C. Al-Quran pada
jaman khalifah Umar bin Khatab
Tidak ada perkembangan yang
signifikan terkait dengan kodifikasi Al-Qur’an yang dilakukan oleh khalifah
kedua ini selain melanjutkan apa yang telah dicapai oleh khalifah pertama yaitu
mengemban misi untuk menyebarkan
islam dan mensosialisasikan sumber utama ajarannya
yaitu Al-Qur’an pada wilayah-wilayah daulah islamiyah baru yang berhasil
dikuasai dengan mengirim para sahabat yang kredibilitas serta kapasitas
ke-Al-Quranan-nya bisa dipertanggungjawabkan Diantaranya adalah Muadz bin
Jabal, `Ubadah bin Shamith dan Abu Darda'.
D. Al-Quran pada
jaman khalifah Usman bin ‘Affan
Pada masa pemerintahan Usman
bin 'Affan terjadi perluasan wilayah islam di luar Jazirah arab sehingga
menyebabkan umat islam bukan hanya terdiri dari bangsa arab saja ('Ajamy).
Kondisi ini tentunya memiliki dampak positif dan negatif.
Salah satu dampaknya adalah
ketika mereka membaca Al-Qur’an, karena bahasa asli mereka bukan bahasa arab.
Fenomena ini di tangkap dan ditanggapi secara cerdas oleh salah seorang sahabat
yang juga sebagai panglima perang pasukan muslim yang bernama Hudzaifah bin
al-yaman.
Imam Bukhari meriwayatkan
dari Anas r.a. bahwa suatu saat Hudzaifah yang pada waktu itu memimpin pasukan
muslim untuk wilayah Syam (sekarang syiria) mendapat misi untuk menaklukkan
Armenia, Azerbaijan (dulu termasuk soviet) dan Iraq menghadap Usman dan menyampaikan
kepadanya atas realitas yang terjadi dimana terdapat perbedaan bacaan Al-Qur’an
yang mengarah kepada perselisihan.
Ia berkata : "wahai
usman, cobalah lihat rakyatmu, mereka berselisih gara-gara bacaan Al-Qur’an,
jangan sampai mereka terus menerus berselisih sehingga menyerupai kaum yahudi
dan nasrani ".
Lalu Usman meminta Hafsah
meminjamkan Mushaf yang di pegangnya untuk disalin oleh panitia yang telah
dibentuk oleh Usman yang anggotanya terdiri dari para sahabat diantaranya Zaid
bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa'id bin al'Ash, Abdurrahman bin al-Haris dan
lain-lain.
Kodifikasi dan penyalinan
kembali Mushaf Al-Qur’an ini terjadi pada tahun 25 H, Usman berpesan apabila
terjadi perbedaan dalam pelafalan agar mengacu pada Logat bahasa suku Quraisy karena
Al-Qur’an diturunkan dengan gaya bahasa mereka.
Setelah panitia selesai
menyalin mushaf, mushaf Abu bakar dikembalikan lagi kepada Hafsah. Selanjutnya
Usman memerintahkan untuk membakar setiap naskah-naskah dan manuskrip Al-Qur’an
selain Mushaf hasil salinannya yang berjumlah 6 Mushaf.
Mushaf hasil salinan tersebut
dikirimkan ke kota-kota besar yaitu Kufah, Basrah, Mesir, Syam dan Yaman. Usman
menyimpan satu mushaf untuk ia simpan di Madinah yang belakangan dikenal
sebagai Mushaf al-Imam.
Tindakan Usman untuk menyalin
dan menyatukan Mushaf berhasil meredam perselisihan dikalangan umat islam
sehingga ia manual pujian dari umat islam baik dari dulu sampai sekarang
sebagaimana khalifah pendahulunya Abu bakar yang telah berjasa mengumpulkan
Al-Qur’an.
Adapun Tulisan yang dipakai
oleh panitia yang dibentuk Usman untuk menyalin Mushaf adalah berpegang pada
Rasm alAnbath tanpa harakat atau Syakl (tanda baca) dan Nuqath (titik sebagai
pembeda huruf).
E. Tanda Yang
Mempermudah Membaca Al-Quran
Sampai sekarang, setidaknya masih
ada empat mushaf yang disinyalir adalah salinan mushaf hasil panitia
yang diketuai oleh Zaid bin Tsabit pada masa khalifah Usman bin Affan. Mushaf
pertama ditemukan di kota Tasyqand yang tertulis dengan Khat Kufy. Dulu
sempat dirampas oleh kekaisaran Rusia pada tahun 1917 M dan disimpan di
perpustakaan Pitsgard (sekarang St.PitersBurg) dan umat islam dilarang untuk
melihatnya.
Pada tahun yang sama setelah
kemenangan komunis di Rusia, Lenin memerintahkan untuk memindahkan Mushaf
tersebut ke kota Opa sampai tahun 1923 M. Tapi setelah terbentuk
Organisasi Islam di Tasyqand para anggotanya meminta kepada parlemen Rusia agar
Mushaf dikembalikan lagi ketempat asalnya yaitu di Tasyqand (Uzbekistan, negara
di bagian asia tengah).
Mushaf kedua terdapat di Museum al
Husainy di kota Kairo mesir dan Mushaf ketiga dan keempat terdapat di kota
Istambul Turki. Umat islam tetap mempertahankan keberadaan mushaf yang asli apa
adanya.
Sampai suatu saat ketika umat islam
sudah terdapat hampir di semua belahan dunia yang terdiri dari berbagai bangsa,
suku, bahasa yang berbeda-beda sehingga memberikan inspirasi kepada salah
seorang sahabat Ali bin Abi Thalib yang menjadi khalifah pada waktu itu yang
bernama Abul-Aswad as-Dualy untuk membuat tanda baca (Nuqathu I’rab) yang
berupa tanda titik.
Atas persetujuan dari
khalifah, akhirnya ia membuat tanda baca tersebut dan membubuhkannya pada
mushaf. Adapun yang mendorong Abul-Aswad ad-Dualy membuat tanda titik adalah
riwayat dari Ali r.a bahwa suatu ketika Abul-Aswad adDualy menjumpai seseorang
yang bukan orang arab dan baru masuk islam membaca kasrah pada kata "Warasuulihi"
yang seharusnya dibaca "Warasuuluhu" yang terdapat pada QS.
At-Taubah (9) 3 sehingga bisa merusak makna.
Abul-Aswad ad-Dualy
menggunakan titik bundar penuh yang berwarna merah untuk menandai fathah,
kasrah, Dhammah, Tanwin dan menggunakan warna hijau untuk menandai Hamzah. Jika
suatu kata yang ditanwin bersambung dengan kata berikutnya yang berawalan huruf
Halq (idzhar) maka ia membubuhkan tanda titik dua horizontal seperti "adzabun
alim" dan membubuhkan tanda titik dua Vertikal untuk menandai Idgham
seperti "ghafurrur rahim".
Adapun yang pertama kali
membuat Tanda Titik untuk membedakan huruf-huruf yang sama karakternya (nuqathu
hart) adalah Nasr bin Ashim (W. 89 H) atas permintaan Hajjaj bin Yusuf
as-Tsaqafy, salah seorang gubernur pada masa Dinasti Daulah Umayyah (40-95 H).
Sedangkan yang pertama kali menggunakan tanda Fathah, Kasrah, Dhammah, Sukun,
dan Tasydid seperti yang-kita kenal sekarang adalah al-Khalil bin Ahmad
al-Farahidy (W.170 H) pada abad ke II H.
Kemudian pada masa Khalifah
Al-Makmun, para ulama selanjutnya berijtihad untuk semakin mempermudah orang
untuk membaca dan menghafal Al-Qur’an khususnya bagi orang selain arab dengan
menciptakan tanda-tanda baca tajwid yang berupa Isymam, Rum, dan Mad.
Sebagaimana mereka juga
membuat tanda Lingkaran Bulat sebagai pemisah ayat dan mencamtumkan nomor ayat,
tanda-tanda waqaf (berhenti membaca), ibtida (memulai membaca), menerangkan
identitas surah di awal setiap surah yang terdiri dari nama, tempat turun,
jumlah ayat, dan jumlah 'ain.
Tanda-tanda lain yang dibubuhkan
pada tulisan Al-Qur’an adalah Tajzi' yaitu tanda pemisah antara satu Juz
dengan yang lainnya berupa kata Juz dan diikuti dengan penomorannya (misalnya,
al-Juz-utsalisu: untuk juz 3) dan tanda untuk menunjukkan isi yang berupa
seperempat, seperlima, sepersepuluh, setengah Juz dan Juz itu sendiri.
2.2 Pencetakan
Al-Qur’an
Sebelum
ditemukan mesin cetak, Al-Qur’an disalin dan diperbanyak dari mushaf utsmani
dengan cara tulisan tangan. Keadaan ini berlangsung sampai abad ke16 M. Ketika
Eropa menemukan mesin cetak yang dapat digerakkan (dipisah-pisahkan) dicetaklah
Al-Qur’an untuk pertama kali di Hamburg, Jerman pada tahun 1694 M.
Naskah
tersebut sepenuhnya dilengkapi dengan tanda baca. Adanya mesin cetak ini
semakin mempermudah umat islam memperbanyak mushaf Al-Qur’an. Mushaf Al-Qur’an
yang pertama kali dicetak oleh kalangan umat islam sendiri adalah mushaf edisi
Malay Usman yang dicetak pada tahun 1787 dan diterbitkan di St. Pitersburg
Rusia.
Kemudian
diikuti oleh percetakan lainnya, seperti di Kazan pada tahun 1828, Persia Iran
tahun 1838 dan Istambul tahun 1877. Pada tahun 1858, seorang Orientalis Jerman
, Fluegel, menerbitkan Al-Qur’an yang dilengkapi dengan pedoman yang amat
bermanfaat.
Sayangnya,
terbitan Al-Qur’an yang dikenal dengan edisi Fluegel ini ternyata mengandung
cacat yang fatal karena sistem penomoran ayat tidak sesuai dengan sistem yang
digunakan dalam mushaf standar. Mulai Abad ke-20, pencetakan Al-Qur’an
dilakukan umat islam sendiri. Pencetakannya mendapat pengawasan ketat dari para
Ulama untuk menghindari timbulnya kesalahan cetak.
Cetakan
Al-Qur’an yang banyak dipergunakan di dunia islam dewasa ini adalah cetakan
Mesir yang juga dikenal dengan edisi Raja Fuad karena dialah yang
memprakarsainya. Edisi ini ditulis berdasarkan Qiraat Ashim riwayat Hafs dan
pertama kali diterbitkan di Kairo pada tahun 1344 H/ 1925 M. Selanjutnya, pada
tahun 1947 M untuk pertama kalinya Al-Qur’an dicetak dengan tekhnik cetak
offset yang canggih dan dengan memakai huruf-huruf yang indah. Pencetakan ini
dilakukan di Turki atas prakarsa seorang ahli kaligrafi turki yang terkemuka
Said Nursi.
Kompleks
Percetakan al-Qur’an Raja Fahd bin Abdul Aziz
Terletak di
jalan menuju Kota Tabuk atau sekitar 10 kilometer dari Kota Madinah, lokasi
percetakan tepat bersebelahan dengan pusat pelatihan tempur tentara Kerajaan
Arab Saudi. Percetakan yang lebih mirip disebut kawasan perkantoran itu mulai
didirikan pada 2 November 1982.
Pembangunan
ditandai dengan peletakan batu pertama oleh Raja Fahd. Nama Raja Fahd sebagai
peletak batu pertama diabadikan menjadi nama yang melekat pada percetakan
tersebut.
Dua tahun
kemudian, tepatnya bulan Safar 1405 Hijriyah atau Oktober 1984 Masehi, Alquran
mulia diproduksi di sini. Saat ini, perkantoran Mujamma” Al-Malik Fahd berdiri
megah di atas lahan seluas 250 ribu meter persegi. Terdiri atas puluhan gedung
bertingkat, percetakan ini mampu memproduksi 30 juta eksemplar per tahun.
Bila
dibandingkan dengan percetakan Alkitab di Nanjing, Cina, percetakan Mujamma”
Al-Malik Fahd jauh lebih besar. Percetakan Alkitab di Nanjing hanya berdiri di
atas lahan seluas 48 ribu meter persegi. Kapasitas percetakan Nanjing yang
disebut-sebut sebagai percetakan Alkitab terbesar di dunia itu pun, hanya
memproduksi 12 juta eksemplar per tahun.
Bahkan,
pada tahun 2007, percetakan Nanjing baru mampu mencetak enam juta Alkitab.
Penerbit The Amity yang bekerja sama dengan Bible Society, baru meningkatkan
produksinya di percetakan Nanjing pada tahun 2008. Hingga kini, percetakan di
sebelah timur Cina itu mempunyai kemampuan maksimal 12 juta eksemplar Alkitab
per tahun.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Manuskrip dan pencetakan Al-Qur’an merupakan hal yang paling
penting dalam sejarah Al-Qur’an sehingga bisa kita rasakan manfaatnya sampai
sekarang. Tanpa adanya hal tersebut mungkin cukup sulit untuk kita agar bisa
membaca Al-Qur’an seperti sekarang ini.
3.2 Saran
Dengan membaca makalah ini, pembaca disarankan
agar bisa mengambil manfaat serta mengetahui sejarah tentang Manuskrip dan Pencetakan
Al-Qur’an.